Sepucuk Surat untuk Cintaku

 Dalam menjalani sebuah hubungan, rasa saling percaya itu sangatlah penting. Dengan rasa saling percaya itulah suatu hubungan akan awet, tidak kadaluarsa. Seperti halnya aku yang selalu percaya sepenuhnya padamu, Lelakiku. Tidak secuil pun aku meragukan cintamu kepadaku dan aku yakin kau pun sama percayanya padaku. Benar, kan?

Selamat pagi, Cinta. Apa kabarmu hari ini? Apakah semalam kau tidur nyenyak? Apakah kau memimpikan aku?

Lagi-lagi, aku berdialog dengan bayanganmu. Seolah aku sedang bersamamu. Menghabiskan sarapan di meja makan seperti pagi yang dulu telah kita lewati bersama.
Hari ini adalah hari ke lima puluh sejak kau pergi ke tanah rantau. Meninggalkan aku, cintamu di tanah kelahiranmu ini.
Kau tahu Cinta, setiap malamku terasa sangat menyesakkan. Sulit rasanya diriku untuk memejamkan mata walau hanya sekejap. Aku mengkhawatirkanmu, Cinta.
Apakah kau tidur nyenyak? Apakah kau kedinginan? Apakah kau baik-baik saja?
Aku hanya bisa menatap kosong langit malam yang bertabur bintang.
Kau ingat, dulu kita sering duduk berdua di teras rumah sederhana kita. Memandangi langit berbintang bersama. Bercerita tentang keluarga kecil kita. Entah kenapa aku merindukan saat-saat itu. Bersamamu, menyandarkan kepalaku pada bahu kekarmu. Yang kemudian kau memelukku, membuatku merasa sangat nyaman.
Aku selalu berdoa agar kau baik-baik saja di sana. Aku akan meminta pada  Tuhan untuk menjagamu dua puluh empat jam nonstop, Cinta. Meminta agar Dia menjaga setiap langkahmu yang menjejak di tanah orang. Aku akan menunggumu kembali, Cinta. Percayalah. Aku akan bertahan demi cintaku padamu. Demi mimpi indah kita.
Aku sempat meragukan kemampuanku sendiri. Aku sempat merasa pesimis dengan keadaan kita.
Apakah aku mampu bertahan? Dengan tenang kau menjawab, "Ini adalah ujian untuk kita, Sayang. Bertahanlah. Aku akan segera kembali padamu. Aku janji."
Kalimatmu bagaikan oase di tengah gurun pasir, begitu menyejukkanku. Ya, mungkin kau benar, Cinta. Mungkin ini adalah ujian untuk kita. Ujian untuk menguatkan anugerah rasa yang diizinkan Tuhan hadir di hati kita.
Baiklah, Cinta, aku akan bertahan dan aku minta bantulah aku agar aku bisa melewati ini semua. Tetaplah menasehatiku dengan kata-kata bijakmu. Tetaplah rajin menghubungiku agar rasa cemburu dan curiga tidak mengompori untuk memusuhimu. Aku yakin, bersamamu semua akan terasa lebih mudah.
Seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon semakin kencang angin yang berhembus. Aku mendapatkan kabar burung tentangmu, Cinta. Kabar yang sejujurnya tidak ingin aku dengar, tidak ingin aku tahu. Tapi ternyata rasa penasaranku jauh lebih besar dibandingkan rasa takutku.
Apakah kabar itu?
Katanya kau telah memiliki cinta yang lain di sana. Air mataku seketika tumpah mendengarnya. Tetesan air mata yang jatuh membawa serta rasa sakit yang hinggap di hati. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku seolah membenarkan kabar itu. Toh, tidak ada yang tahu pasti apa yang kau lakukan di sana. Apa yang kau kerjakan di sana.

Benarkah cintaku telah berpindah ke lain hati?

Perih rasanya aku membayangkan kemungkinan itu. Dan untuk pertama kalinya aku merasa cemburu. Rasa cemburu yang sempurna membakar seluruh raga dan hatiku. Dan itu semakin terasa perih saat aku tidak bisa menghubungimu untuk menanyakan kebenaran kabar itu. Dua hingga lima kali aku terus menghubungimu. Tapi yang menjawab bukan kau melainkan operator telpon bersuara khas itu. Kau ke mana, Cinta? Kenapa kau tidak menjawab telponku? Tidakkah kau tahu, aku dihinggapi rasa cemburu level lima belas.
Pagi, siang dan malam aku resah menanti penjelasanmu. Tapi penjelasan itu tak kunjung kau berikan dan aku memutuskan untuk berhenti berpikir buruk tentangmu dan juga tentang kabar burung itu. Aku pasrah karena aku merasa lelah curiga padamu. Aku mencoba mengikhlaskan semuanya pada Tuhan. Biarlah Dia yang menunjukkan jalan padaku, Cinta.
Saat menulis surat ini pun, air mataku berlinang karena rasa rinduku padamu. Juga karena kabar terkutuk itu yang semakin hari semakin mempersempit gerak langkahku.
Aku tetap berharap kau akan menjelaskan dan mengatakan bahwa kabar itu tidak benar. Bahwa kau tetap Lelaki yang dulu, yang selalu mencintaiku.

Dari aku yang merindumu,


Kudus, 09 Agustus 2014

Related Posts:

2 Responses to "Sepucuk Surat untuk Cintaku"

  1. Terima kasih sudah menulis ceritanya langsung di blog ini dan tidak melakukan copi paste. Ceritanya bagus, indah, luapan perasaan seorang wanita yang cemas kepada belahan hatinya yang terpisah di sana. Saya sangat menikmati ceritanya, dan kenikmatannya akan semakin bertambah, jika cerita ini terus dibaca ulang oleh penulisnya, dan terus dilakukan penyempurnaan demi penyempurnaan hingga akhirnya benar-benar menjadi cerita yang luar biasa......

    ReplyDelete
  2. Terima kasih karena Kak Dana berkenan meluangkan waktu untuk membaca cerita saya. Saya pun masih belajar menulis. Mohon bimbingannya.

    ReplyDelete