Minggu, di keramaian pasar malam. Aku menyusuri setiap sudut mencari sesuatu yang berguna. Sesekali memperhatikan riuh ramai anak-anak sepantaranku yang asyik bermain bianglala, komedi putar, kora-kora dan prosotan. Mereka begitu terlihat manis dengan seulas senyum ceria khas anak-anak. Pikiranku mulai mengambang. Berpikir, bagaimana rasanya naik permainan seperti itu? Kelihatannya seru saat tubuh kita diayun, memutar, berada di atas, bisa berteriak kencang dan tertawa lepas. Cukup menguji adrenalin juga.
Aku menoleh ke lapak penjual tiket permainan. Antriannya panjang sekali. Di sana tertulis nominal harga Rp.10.000,-. Aku menghela napas panjang, menggeleng. Mahal!
"Kak, pulaaaang." Rengek adikku yang sudah mulai mengantuk.
Matanya mengerjap-ngerjap. Sesekali menguap. Tangan kanannya menarik-narik ujung baju kumalku. Tangan kirinya memeluk botol-botol plastik bekas. Cukup kerepotan dengan enam sampai tujuh botol di tangannya yang mungil. Aku meraih botol yang dipegangnya. Memasukkan botol-botol itu ke dalam karung yang sedari tadi aku bawa.
"Baiklah, ayo." Aku mengikat karungku yang hampir penuh dengan barang-barang rongsokan.
"Kak, lapaaar." Suara parau adikku menghentikan kakiku yang hendak melangkah. Aku bahkan bisa mendengar suara perutnya yang keroncongan. Ya Tuhan! Aku mengusap peluh di dahiku, menatap wajah kusut adikku.
"Ini minum air mineral dulu buat tahan laparnya. Makannya nanti, Dek." Aku menyodorkan sebotol air mineral ukuran tanggung. Itu air mineral sisa. Tapi masih bersih, hanya diminum seperempat saja oleh pemiliknya. Aku mengambilnya di dekat tong sampah, di ujung pintu masuk tadi.
"Ayo Dek pulang." Adikku mengangguk. Berjalan mengekor sambil memegangi ujung bajuku.
Cukup melelahkan, tapi kami bersyukur karena malam ini kami mendapatkan banyak botol plastik bekas.
"Kak, kapan aku bisa beli mainan itu?" tanya adikku sambil menunjuk mainan mobil-mobilan yang dijalankan dengan remot. Matanya bahkan terus memperhatikan lapak penjual mainan itu.
Aku menelan ludah. Menatap kasihan pada adikku.
"Kau tahu, Dek. Suatu saat kau pasti bisa. Bahkan kau bukan hanya akan membeli mainan itu. Tapi kau bisa punya yang aslinya."
"Maksud Kakak, aku akan punya mobil sendiri?"
"Iya, jika sudah besar nanti dan kau tumbuh jadi orang yang sukses."
Adikku tersenyum begitu sumringah menatapku. Wajahnya mulai menyimpulkan impian cerah di lintas malam yang temani lapar.
*****
Risa, iya saya turut berharap
ReplyDeleteSetelah besar nanti, adikmu menjadi orang sukses
Punya mobil, dan memberi kebaikan kepada sesama mu
Mungkin sekarang, kamu dan adikmu masih seperti itu
Bersabar saja ya
Nasib mudah-mudahan suatu saat berubah
Iya, harapan jangan pernah musnah....
.. adduuh, itu fiksi mas. bukan kisah nyata saya.. heheheh
ReplyDeleteIya inilah kekurang-ajaran saya
DeleteSudah jelas ini fiksi
Malah saya anggap nyata dengan komen di atas
Sengaja, biar penulisnya manyun
.. iya mas udah manyun, heheh
ReplyDelete