"Seorang aktivis harus kuat!" begitu katanya dulu.
Lembut saya membelai buku-buku usang, karya lelaki masa lalu. Buku puisi warna biru ini juga menjadi saksi perasaannya. Saya hanya menyesali, kenapa hatinya yang kaku tega membiarkan sahabatnya sendiri menikahi saya. Ide jahat Papa untuk memisahkan saya dengannya pun berhasil.
Biarkan kulepas perempuanku,
yang menjadikan tawa di sela kesunyianku.
Biarkan kulepas perempuanku,
yang memberi candu, tenangkan hatiku.
Dingin masih melumuri sesak atas duka kematiannya. Hati ini masih mencintainya, walaupun dua putra telah menghiasi kehidupan pernikahan saya.
"Mamaaa?" suara manja putra bungsu saya membuyarkan kesedihan.
"Iya sayang." Saya tersenyum sembari menciumi pipinya.
"Mama sayang Awan tidak?"
Keningku berkerut. Tanya yang polos. Rasanya tersentuh. Apa saya egois? Tuhan sudah memberi saya kebahagiaan, tapi saya . . .
"Mama sayang dengan Awan."
Saya memeluknya. Awan, itu juga menjadi namanya. Sang Pemberontak sudah mati, tapi ia terus membuat saya memberontak pada kenyataan.
Semua harus usai!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Risa,
ReplyDeleteSebelum saya mengomen ceritanya
Ada satu hal yang ingin saya sampaikan padamu
Yaitu, saya ingin menyampaikan terima kasih, karena kamu telah menulis langsung fiksiminimu di blog, dan tidak memakai jurus copas
Sekali lagi terima kasih
Itu kebaikan tak terhingga buat blog ini
Thank Risa
Dan thank juga buat yang lainnya
Yang membaca komen ini dan suka menulis langsung
Karena setiap copas yang Anda lakukan, bisa merusak kehormatan blog ini di tengah dunia maya....
Saya temukan fiksi ini petang
ReplyDeleteBaru bisa saya nikmati malam, jam sepuluh kurang
Oh Tidakkkkk, rupanya masih tersambung dengan fiksi sebelumnya
Masih tentang si pemberontak yang membuat jatuh cinta itu
Yang merasa kesahanannya menolak cinta tertebus dengan tembusnya peluru ke dalam tubuhnya
Semakin terlibat saja emosi saya dengan kisah ini
Rupanya begitu mendalam
Mendalam
Dalam
Waduh, jadi penasaran dengan fiksimini berikutnya
Kutunggu ya Icha.......
Ceritanya bagus, tapi ada yang sedikit mengganjal. Penggunaan kata 'saya' untuk narasi sepertinya meletakkan jarak antara cerita dengan pembaca. Coba ganti dengan 'aku' kayaknya akan terasa lebih nikmat. Semoga berkenan.
ReplyDeleteJadi ingin lebih dalam menyelami tokoh "saya". Gerangan apa yang telah terjadi dalam hidupnya...
ReplyDelete.. mas dana, oh bole dilanjut lagi ya? heheheh
ReplyDelete.. mba umi_ itu setting cerita tahun 1960, berlanjut 1998, jadi kata ganti pakai saya.. maaf tak bisa dirubah. menyesuaikan dialog tempo dulu.. xixixixi, coba mba baca kisah sebelumnya, tapi terima kasih sarannya.
.. Richie P.A_ terima kasih sudah mmbaca. :)
Nama tokoh awan mengingatkan pada tokoh SciFi yang jadi juara menulis SciFi tahun2013 ... Awan!
ReplyDeleteKang Dana, Maaf saya melakukan copas pada tulisan pertama saya :(
ReplyDeleteWaktu itu saya belum faham. Kiranya Kang Dana dapat memaafkan kekhilafan saya.
Kang Toni
DeleteOh itu tidak masalah Ang
Kan Aang sudah menulis langsung pada postingan berikutnya
Saya cuma mengucapkan terima kasih kepada penulisan langsung itu. Tapi mungkin memang saya salah sudah menulis komen di atas, karena menyebabkan efek domino bagi yang melakukan sebaliknya. Maafkan saya Ang....
Sama sekali tidak bermaksud menyinggung Aang
Saya mengerti beberapa member belum sempat saya sampaikan masalah ini, jadi mereka khilaf
Dulu, saya biarkan saja postingan itu ada
Sekarang, barusan bahkan, postingan-postingan yang dipasang dengan copy paste,
Dengan terpaksa saya hapus.......