Duapuluh lima tahu yang lalu. Di SMP, kami satu kelas. Dia pandai, juga tampan. Penampilan dan gayanya menarik. Idola dan idaman setiap wanita. Banyak wanita berharap jadi pacarnya. Tak dipungkiri, aku menyukainya. Tapi aku tahu diri. Untuk menjadi sahabatnya saja, aku tak berani berharap. Sikap tak acuh dan angkuhnya membuatku merasa tak nyaman dan tak berarti di hadapannya.
Dalam acara reuni, kehadirannya sangat dinanti-nanti. Hampir semua orang membicarakan kemapanan dan keberhasilan karirnya.
Saat dia datang, hampir semua orang menyongsongnya. Aku tetap duduk. Sesekali mencuri pandang ke arahnya. Kecuali rambut, tak banyak yang berubah. Tetap tampan dan menarik.
"Hai, apa kabar?" sapanya. Aku tersenyum. Tatapannya lembut menyapu tubuhku. "Kamu anggun dan cantik." bisiknya, membuatku tersipu.
Saat duduk berdekatan, tatapannya tak lepas dari wajahku. Hatiku bergetar, jantung berdebar, tubuh pun turut gemetar.
'Sebenarnya, dari dulu aku menginginkanmu. Tapi kamu bak gunung es. Dingin dan kokoh!" ujarnya lembut di telingaku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Judulnya bagus, "Gunung Es"! Sip, edun.
ReplyDeleteEh aya Ci Aaang
Deleteternyata ga bertepuk sebelah tangan tuh! hhehe.
ReplyDeleteKang Puja Teknik, yang bagus cuma judulnya ya?
ReplyDeleteMakasih, Kang...
Neng Nurus, betul tuuuh...Andai terucap 25 tahun yang lalu, tentu ceritanya akan lain hehehe
ReplyDeleteTeh Neni. Kalo boleh sedikit mengoreksi, acuh di atas mungkin seharusnya "tak acuh" karena acuh adalah peduli. Seperti yang tadi saya share pada tips menulis. Mohon maaf tidak bermaksud menggurui. Hanya ingin berbagi. Nuhun
ReplyDeleteIndah nian ini cerita mengalir indah, manis bak sirup strowberry
ReplyDeleteTidak terasa mata menelaah dari baris ke baris,
Tahu tahu sudah sampai di akhir,
Namun itu baris terakhir membuat saya bertanya-tanya, sebenarnya itu ungkapan siapa
Maaf, barusana saya pake nama Bawang Bodas
DeleteKang Toni, nuhun koreksina.
ReplyDeleteKang Dana, gak jelas ya? Itu ungkapan SI Ganteng he heh
ReplyDelete