Mengapa Saya Rela Berpanas-Panasan di Sawah?

Mengapa saya rela berpanas-panasan di sawah?

Satu alasannya, karena terkadang, saya mendapatkan tugas cereamah. Mengisi pengajian ibu-ibu, atau pengajian pemuda. Dan audiens saya, kebanyakan orang desa. Tentu saja kepada orang desa, harus berbicara dengan bahasa orang desa. Dengan konteks kedesaan. Dan desa, identik dengan pertanian. Di depan mereka, saya harus banyak berbicara tentang pertanian, kerja keras, dan giat.

Dakwah kepada masyarakat, harus dengan bahasa mereka. Maka cerita-ceritanya, ibarat-ibaratnya, sangat baik jika diambil dari apa yang biasa mereka temukan dari keseharian mereka. Berbicara kepada petani, tentu harus banyak memakai bahasa pertanian. Quantum Learning mengajarkan, satu kunci kreatif adalah, melihat apa yang orang lain lihat namun memikirkan apa yang orang lain tidak pikirkan. Nah, jika saya melihat sawah, lumpur, pematang, padi, rumput, burung, sebagaimana para petani melihat semua itu, namun memikirkan, sesuatu yang tidak dipikirkan oleh mereka, kemudian menyajikannya ke dalam ceramah, tentu saja ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. 

Oh, jadi tujuannya karena ceramah ingin disukai hadirin?

Bisa dibilang begitu. Namun, tak berhenti sebatas ingin disuka. Melainkan, ingin disuka supaya isi ceramah saya sampai kepada mereka. Menyusahkan orang lain itu akhlaq tercela, bahkan kalau tak salah, ini bagian dari larangan agama. Jika saya ceramah susukanya, tanpa berpikir pendengar suka atau tidak, hingga akibatnya, mereka jadi tersiksa, terkantuk-kantuk, duduk pegal, pening dan bosan, saya pikir, menyusahkan orang lain itu namanya dosa. Sebaliknya, jika saya siapkan ceramah saya, dengan bahasa sebaik-baiknya, bahasaya yang mudah dimengerti oleh mereka, diselipi seni, cerita dan berbagai kiasan bahasa, kemudian saat saya sampaikan membuat senang siapa yang mendengarnya, dan karenanya mau menerima nasihat saya, kiranya semua usaha itu bagian dari kebaikan juga.

Kembali ke benang merah, penting buat saya kerja sebagaimana mereka. Saya harus tahu bagaimana capenya kerja. Saya harus tahu, bagaimana rasanya kotor lumpur, bagaimana rasanya gatal-gatal. 

Bagaimana saya mau mengajarkan kerja keras, jika saya sendiri bukan pekerja keras
Bagaimana saya mengajarkan semangat bertani, jika saya sendiri bukan petani.
Bagaimana saya mengajarkan semangat kerja, jika saya sendiri malas kerja

Saya ingin para pemuda mengerti, kerja itu indah, sawah itu indah, berkotor-kotor itu indah. Saya pun ingin mereka mengerti, kerja bisa membuat mereka lebih sehat. Dan saya pun ingin mereka mengerti, bahwa, berpanas-panasan di sawah, biar sampai wajah menghitam, ini lebih baik bagi seorang pria, lebih keren dan gagah. Sebagai buktinya, ini saya badan sampai menghitam pun tidak mengapa.

Related Posts:

0 Response to "Mengapa Saya Rela Berpanas-Panasan di Sawah?"

Post a Comment