Kenapa?

Tak perlu kau bersembunyi. Aku bisa melihatmu dengan jelas. Tiang bangunan itu tidak bisa menyembunyikan bayangan tubuhmu dari penglihatanku. Dan satu lagi. Aku juga tahu kalau kau membenciku. Mungkin amat sangat sekali membenciku.

Jika kau izinkan, aku ingin bertanya satu hal. Pertanyaan sederhana saja.

Kenapa kau membenciku? Apakah aku pernah berbuat salah padamu? Atau tanpa sadar kalimatku menyakitimu?

Tapi kan kita belum pernah berbincang. Menyapamu saja aku tidak pernah, lalu bagaimana bisa kau benci padaku?
Bukan aku tidak mau berbincang denganmu. Tapi kau menghindar di detik pertama saat mata kita bertaut.

Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa kau membenciku?

Sebenarnya, aku tipikal orang yang cuek dan masa bodoh dengan orang lain. Aku lebih senang menghabiskan waktu sendiri. Mengembara dalam duniaku sendiri. Aku tidak pernah peduli dengan orang-orang di sekitarku. Bagiku, mereka hanyalah patung berjalan.

Tapi saat bertemu denganmu semua terasa lain. Aku tidak bisa lagi acuh apalagi berpura-pura tidak melihatmu. Ada sesuatu yang membuatku ingin mendekatimu. Meninggalkan duniaku yang nyaman. Tapi tidak kusangka, kau justru menghindariku bahkan sangat membenciku. Aku jadi sangat penasaran.

Jika kau izinkan, aku ingin bertanya. Kenapa kau membenciku? Jawablah.

Aku kesal dan sebal jika melihat raut wajahmu seperti itu. Diam, melihatku sekilas dan mendesah pelan. Kenapa? Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?

Tolonglah, jangan buat aku merasa sangat bersalah seperti ini. Bagaimana aku tahu salahku jika kau diam dan menghindariku.

Kau tahu, kau sempurna mengalihkan duniaku. Membuatku pusing sepuluh keliling karena tingkah anehmu itu.

Aku sadar, aku hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat yang suci, yang tidak punya dosa. Aku juga bukan iblis yang menakutkan.
Aku kombinasi keduanya. Sifat malaikat dan iblis menyatu dalam tubuhku. Dan ... Hm, bahkan saat ini mungkin aku sedang melakukan dosa lagi.

Tolong, jangan acuhkan aku. Jangan abaikan aku. Aku hanya  butuh penjelasan. Setelah itu terserah kau. Kau ingin menjauh. Kau tidak mau melihatku lagi. Terserah. Aku tidak akan menganggumu lagi.

Hufffh, aku merasa lega sekarang karena akhirnya kau mau berbicara padaku. Aku tahu kau masih takut. Aku dapat merasakannya. Tapi tidak apa. Ini sudah lebih dari cukup.

Aku hanya bisa tertawa saat kau menjelaskan semuanya. Alasan kenapa kau menjauhi dan membenciku. Perutku sampai sakit karena tawa yang tak sanggup kutahan.

"Jadi, kau takut dengan rambut gondrongku?" tanyaku, menahan tawa.

Kau hanya mengangguk dengan tertunduk.

Ya, mungkin memang sudah waktunya kupangkas habis rambut yang menutupi hampir sebagian wajahku. Rambut yang selama bertahun-tahun kubiarkan memanjang.

Selama ini aku selalu cuek, toh tidak ada seorang pun yang berkomentar tentang penampilanku. Tapi kau. Ya kau. Dengan kepolosanmu kau mengatakan, kau takut padaku karena benda di atas kepalaku ini. Rambutku!

"Baiklah, besok akan potong rambut."

Kau mendongak. Menatapku dengan penuh sesal.

Aku balas menatapmu. Bukankah itu yang kau inginkan? Tanyaku lewat tatapan mata.

"Eh ... Tidak perlu. Aku hanya butuh penyesuaian," jawabmu. Kembali menunduk.

Aku mengangkat sebelah alis. Orang aneh.

Kau takut melihat rambutku, aku bersedia memotong rambut, eh kau bilang tidak perlu. Katamu, kau hanya butuh penyesuaian saja. Maksudnya apa?

"Kau kehilangan sesuatu?" Kulihat kakimu saling bergesek dengan lantai.

Kau mendongak lagi. Menggeleng.

"Lalu kenapa menunduk seperti itu?"

"Tidak apa-apa."

Kau benar-benar orang teraneh yang pernah aku temui. Tapi jauh dilubuk hati, ada yang menarikku padamu. Meski kau aneh tapi aku suka. Mungkin karena aku juga aneh. Ya, dua orang aneh bersama. Entah bagaimana penilaian orang tentang kita.

Ups!

Kita? Kata itu terdengar indah sekali. Kau dan aku menyatu menjadi kita.

Bibirku tertarik ke belakang menciptakan sebuah senyum. Namun itu tidak lama. Aku gengsi dan takut kau melihatnya. Karena aku jelek ketika tersenyum. Tidak percaya? Terserah.

"Kau sering datang ke tempat ini?"

Berdua, kita berkeliling museum sekali lagi. Meja bundar besar yang memajang deretan bungkus rokok dari masa ke masa menyambut kedatangan kita. Kau mendekati meja bundar itu.

"Ya, ketika libur datang."

Aku mengangguk. Membenarkan jawabanmu. Setiap datang kemari pun aku selalu bertemu dengan bayanganmu yang berjalan seorang diri di dalam museum yang ramai. Aku ingat betul pertemuan pertama kita dulu.

Waktu itu, aku sedang mengambil foto tiga patung pekerja yang sedang menggiling rokok dan kau-mungkin tidak melihat keberadaanku-menabrakku yang fokus menjebret aksi tiga patung pekerja itu.

Aku sempat ingin marah sebenarnya. Kau mengganggu konsentrasiku. Tapi saat melihat mimik mukamu, aku justru terheran. Kau seolah melihat sesosok makhluk astral yang sangat menakutkan. Belum sempat kubertanya, kau berlari menjauhiku. Meninggalkan tanda tanya dalam hatiku.

"Rumahmu di mana?"

Tanpa dosa kutanyakan itu padamu. Dan sudah kuduga kau menatapku. Mungkin heran, karena kita baru saja kenal dan aku menanyakan rumahmu.

"Eh, kupikir rumahmu tidak terlalu jauh dari sini. Mengingat kau sangat rajin datang kemari. Iya kan?" sahutku lagi. Memutus curigamu.

Kita melangkah lagi. Sekarang memandangi tumpukan tembakau yang ditata apik di dalam etalase kaca.

"Rumahku berjarak dua rumah dari sini."

Aku hanya ber-o- ria. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk berkunjung ke rumahmu.

Setelah satu jam lamanya berkeliling museum, sampailah di akhir kebersamaan kita. Kau tersenyum sekilas. Sedangkan aku, membatu di tempatku. Mengutuki waktu yang cepat sekali berlalu. Aku ingin lebih lama bersamamu.

Dengan sekali anggukan, kau pamit. Karena hari mulai senja. Atau mungkin kau khawatir orang tuamu mencari atau ... Kau ada janji dengan seseorang. Ah, entahlah. Aku hanya ingin kau tinggal. Menemaniku lebih lama lagi.

"Tunggu!"

Panggilanku menghentikan langkahmu.

"Eh, apakah kita akan bertemu lagi?"

Kau menjawab dengan tersenyum dan kuartikan senyum itu sebagai kata, "iya"

Bayangan tubuhmu perlahan mengecil dan menghilang. Meninggalkan aku yang masih membatu di pintu masuk museum yang mulai sepi. Aku merasakan ada yang hilang dalam hatiku. Aku merasa tidak lagi utuh.

Rindu. Sepertinya aku merindukanmu.

Aku tahu, kau akan menertawakan jika aku katakan itu padamu. Baru juga kenal kok sudah rindu. Tapi aku serius. Aku rindu padamu. Tingkahmu yang bersembunyi di balik tiang. Senyum kakumu. Ah, tidak sabar rasanya menanti hari esok. Tak sabar bertemu denganmu lagi.

Sampai bertemu lagi di pertemuan kita selanjutnya. Aku berjanji kau tak akan lagi takut melihatku. Aku akan berubah. Demi kau.


Kudus, 30 Oktober 2014

Related Posts:

2 Responses to "Kenapa?"

  1. Dari awal, saya membaca kisah ini sampai habis. Bagus sudut pandangnya unik, menggunakan sudut pandang orang kedua, hal yang sangat jarang dilakukan sebagian besar penulis.


    Ketegangan, pertanyaan, rasa penasaran, cukup mengaduk-aduk pikiran pembaca. Kamu fokus dalam berkisahan, benar-benar melibatkan perasaan, penjiwaan yang dalam, dan kejujuran dari perasaan seorang yang jatuh cinta

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete