Fiksiminiku: Madrasahku

Saya membayangkan seorang kiai, berjubah, bersorban, berkopiah, lalu tenang memasuki madrasah, kemudian duduk tenang pada kursinya, membuka kitab dan mulai membaca beberapa baris saja, kemudian menerangkannya, dan setiap butiran kata berluncuran lancar, mengalir tanpa hambatan, karena pikirannya, berada sepenuhnya berada di dalam madrasah, bersama apa yang tengah dia sampaikan, tidak digelisahkan masalah apapun di luar apa yang sedang dia bicarakan.

Kemudian, jika ada para santrinya berbicara, dia berusaha memahami, memberikan tanggapan, kemudian berdialog dengan mereka. Saling bertukar pikiran, karena menganggap, bisa jadi santrinya punya pemikiran lebih cemerlang, dan mendengarkan sepenuh hati saat santrinya berbagi pengalaman, karena Kiai yakin, setiap santri yang hadir ke madrasahnya, masing-masing punya pengalaman unik, yang akan sangat berharga jika dia dengarkan. 

Sebagaimana tenangnya kiai itu dalam madrasahnya, seperti itu pula inginnya ketenangan saya saat memasuki fiksiminiku. Saya menulis apa saja yang ingin saya bahas, dengan tenang, dengan kata-kata yang terus mengalir lancar, dari pikiran, melalui jari saya, diawasi oleh mata, membicarakan berbagai hal, dari pengalaman keseharian, hikmah-hikmahnya, pengetahuan sastra, bahasa, dengan tulisan renyah, bahasa mudah, bahkan menggunakan humor di sana-sini kalau bisa, dan pikiran saya sepenuhnya di sini, menulis ini, tanpa digelisahkan hal lain di luaran sana.

Kemudian, jika para teman penulis blog ini memasukkan tulisan, dengan tenang pula saya membacanya, berusaha memahami, mengapreasiasi, kemudian menanggapinya. Dan alangkah indahnya jika setelah itu, terjadi dialog panjang, membicarakan berbagai masalah, isu terkini, solusi pengasuhan anak, perbincangan sastra, dan membicarakan banyak hal.

Suasana semacam itulah yang saya inginkan. Menjadikan situs ini sebagai madrasah, tempat hati dan pikiran merangkai tulisan sepenuhnya. Berakrab ria dengan siapa saja yang datang.

Related Posts:

2 Responses to "Fiksiminiku: Madrasahku"

  1. Itu pula yang saya inginkan, Kang Dana. Tapi setelah dicoba, ternyata sulit juga untuk memusatkan pikiran. Banyak hal yang mengganggu pikiran disaat kita ingin fokus. Manusiawi kan? h e h e h e bela diri yang tak perlu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, benar teh
      Alasan manusiawi seringkali dijadikan tameng buat membela diri saat tidak mampu mengerjakan sebuah pekerjaan...padahal saya kira, manusiawi itu pun bisa dijadikan penguat juga buat kita bekerja lebih keras, karena beda dengan burung, manusia adalah makhluq yang bisa meningkatkan tarap hidupnya.....eh kok saya jadi ngomong PKn

      Delete