Fiksiminiku: 19 Desember

Tiada angin, pagi ini, kebun di samping rumah tenang. Dedaunannya tidak bergoyang. Entahlah semua sedang apa. Apa mungkin, sedang bengong mengingat peristiwa hari ini, 19 Desember, di masa lalu, tahun 1948, dalam sejarah negeri ini: Indonesia. Amir Syarifudin Harahap, dihukum mati.

Dihukum mati. Sekali lagi, dihukum mati.

Oleh tentara.

Pak Amir ditembak tempurung kepalanya.

Atas kesalahan apa?

Di depan meja, saya tertegun. Mulai membaca ini dari grup curcol.com. Datang dari admin, yang biasanya nyeleneh, Richie Permana Ardiansyah, namun kali ini serius. Dan saya, tersulut semangat, buat kembali membaca sejarah.

Oh, Pak Amir rupanya terlibat pemberontakan PKI Madiun.


Pembahasan:

Pembaca sekalian...
Hehe, padahal belum tentu tulisan ini ada yang mau baca. Ini berandai-andai saja. Andai tulisan ini ada yang baca. Sebenarnya, inginnya setiap tulisan, ingin saya bahasa panjang lebar isinya. Fiksimini yang Anda kirimkan, inginnya saya bahas panjang, hingga mencapai ribuan kata, kalau biasa. Ini menyangkut ketentuan blogger yang membuat aturan, tulisan setiap postingan itu, seharusnya lebih dari tujuh ratus kata. Katanya, entahlah, saya tidak tahu aturan sebenarnya.

Ok, mari kita bicarakan. Fiksimini di atas, saya membiacakan Amir Syarifudin. Siapakah sebenarnya dia? Mengapa dihukum mati? Katanya terlibat pemberontakan PKI Madiun,bagaimana ceritanya?

Lahir di Medan, Sumatera Utara. Dari keluarga Batak, 27 April 1907. 

Setelah besar, sang kakak, yang saya lupa lagi namanya--mengajak dia ke Leiden, untuk belajar di sana. Di Leiden, Amir tinggal di sebuah rumah, yang pemiliknya, Dirk Smink, seorang guru Agama Kristen beraliran Calvinis. Orang inilah, yang mendorong Amir Syarifudin masuk Perhimpunan Siswa Gymnasium Haarlem. Dia banyak melibatkan dirinya dalam diskusi orang Kristen tentang keimanan, dan hal ini membuatnya tertarik untuk meninggalkan agama orang tuanya, Islam. Hanya setahu dia bertahan di Leinden. Pulang ke Indonesia, Amir menyatakan dirinya siap dibaptis sebagai Kristen taat. 

Di Indonesia, kegemarannnya diskusi tentang Kristen dilanjutkan. Bahkan tak tanggung-tanggung, dia mendirikan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Tahun 1927 dia masuk sekolah hukum, dan saat itu, kecintaannya berorganisasi sangat tinggi, meskipun saat itu, negeri sedang genting. Berbagai perkumpulan pelajar ada di bawah pengawasan Pemerintah Belanda. 

Keahliannya berpidato, dan kefasihannya bicara membuat dia mudah dikenal. Di sinilah, persahabatannya dengan Sutan Syahrir dan kaum sosialis terbangun. Tahun 1928, menjadi puncak karir Amir Syarifuddin dengan ikutnya dia pada kongres pemuda II, yang terkenal dengan Sumpah Pemuda. 

Tahun 1930, pandangan Syahrir semakin kekiri-kirian. Semangatnya menentang kaum kolonialis bersumber dari semangatnya menegakkan paham sosialis. Dia juga memasuki Partai Indonesia (PARTINDO) yang didirikan Soekarno yang bercirikan nasionalis radikal. Dalam partai itu, dia memegang jabatan di bidang pendidikan, namun minatnya semakin berkurang. Di PARTINDO Amir tak bisa lama.Amir keluar dan bergabung dengan organisasi yang membuatnya lebih bergairah, yaitu PKI, pimpinan Muso Alimin. Di sinilah, Amir kembali dibaptis, untuk menjadi kader PKI bawah tanah yang militan.

Itulah sebabnya, saat terjadi pemberontakan PKI Madiun, Amir dinyatakan terlibat. 

Tanggal 29 November 1948, Amir Syarifuddin ditangkap. Saat itu rambutnya gondrong dan jenggotnya sangat panjang. Kecamatanya masih bagus. Dia dan kelima kawannya kemduian diserahkan kepada Jenderal Gatot Subroto, kemudian dibawa ke Kudus, kemudian ke Solo. Gatot Subroto sempat menyuguhi mereka kopi, kemudian membawanya ke dalam penjara. Nasution pun sempat menemui mereka, dan saat itu Amir duduk di lantai dan hanya mengenakan celana dalam.

Tanggal 5 Desember, Amir dibawa ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Saat itu, ribuan masyarakat menunggu, sangat penasaran kepadanya, dan wartawan, dibolehkan mewawancara. Namun Amir memilih diam, dan sibuk membaca buku kaerya Shakespeare. Akhirnya kembali dibawa ke penjara Fort Vredeburg. Dalam penjara itu pun, Amir masih menyibukkan dirinya dengan membaca. 

Dan inilah, hari terakhirnya, 19 Desember 1948, Amir dan kawan-kawannya dibawa ke Desa Ngalihan, Solo, dan dieksekusi mati di sana. Sebelum ditembak, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Usai menyanyi, Amir berseru, "BERSATULAH KAUM BURUH SEDUNIA, AKU MATI UNTUKMU..".

Related Posts:

0 Response to "Fiksiminiku: 19 Desember"

Post a Comment