Selamat Malam Para Senyuman


Pulang bekerja, saya lewat depan Menara Kudus. Indah, nampak kemerlip orange menghias kokoh bangunan bersejarahnya. Siluetnya membisu, seolah setia menjadi saksi kisah seorang Wali bernama Syeikh Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) dalam menyebarkan agama Islam kala itu. Di kanan kirinya juga banyak terdapat bangunan rumah kuno yang terlihat begitu eksotis.

Malam ini cerah tanpa gerimis ataupun hujan lebat seperti kemarin. Entah mengapa rasanya saya ingin sekali tersenyum, setelah beberapa hari belakangan rasa murung kerap menjadi hantu yang menakutkan. Perlahan ingatan hari itu melintas dan menari-nari di otak saya.

"Saya ingin menulis, Cha." Ucapnya kala itu sembari menatap kedua bola mata saya begitu hangat.

Sempat juga berpikir, sejak kapan ia punya kebiasaan seperti itu. Menulis?

"Apa yang ingin kau tulis, Mas?"

Ia tersenyum, lalu diam dan tidak menjawab.  Saya menunggunya berbicara, sembari menikmati alam bermusik dengan rerintik air langitnya. Cukup lama bibirnya mengatup. Ia mendongak menatap langit, mengulurkan tangan dan bermain dinginnya hujan. Saya mengikuti tatapan matanya. Perlahan, diam itu mulai menyentuh hati saya. Lembut, dan semakin membuat saya tersenyum gila.

Suara klakson motor membuyarkan lamunan. Saya mempercepat langkah kaki. Dingin, tangan saya sedari tadi juga terus mengepal di dalam saku jaket yang saya kenakan. 

Ramai, itulah suasana malam di tepian bangunan-bangunan kuno ini. Para peziarah makam Sunan Kudus banyak sekali yang antusias berfoto di depan menara. Tak jarang menghalangi pengendara motor yang hendak melintas. Macet! Di sudut jalan, ada pemandangan yang khas. Entah mengapa saya merasa sebal. Itulah pengemis-pengemis, memaksa meminta recehan. Mereka seperti zombie yang mencari mangsa. Membuat para wisatawan takut, lalu mempercepat langkah kaki. Saya rasa para pengemis itu bukanlah orang yang benar-benar miskin. Tidak adakah cara lain untuk mendapatkan uang selain dengan hanya menengadahkan tangan dan memasang wajah memelas? Aneh!

Batu yang menyembul membuat kaki saya tersandung. Tak sengaja, saya pun menyenggol seseorang yang sedang melintas di samping saya. 

"Maaf." Lirih saya mengucapkannya sembari memasang wajah seramah mungkin. 

Maaf? Kata itu juga menjadi lanjutan pembicaraan kami. 

"Saya ingin menulis nama saya, Cha."

"Maksud Mas, menulis nama bagaimana?" Saya mengernyitkan dahi. 

"Ya menulisnya di tempat yang menurut saya indah." Ia tersenyum manis.

"Di mana?" 

"Di hatimu! Saya sayang kamu, bolehkah?"

Saya hanya melongo saat itu. Lalu salah tingkah dan tak dapat berkata apa-apa. 

Malam semakin kelam dan waktu sudah menunjukkan pukul 21.05. Saya lelah, tapi senyum terus menghiasi wajah saya malam ini. Di ujung gang, ia sudah menunggu saya di atas motornya. Melambaikan tangan begitu semangat ke arah saya. 

"Sudah lama menunggu, Mas?"

"Tidak akan jadi masalah jika yang saya tunggu adalah kamu." 

Senyumnya semakin membuat saya girang. Saya pun segera membonceng. Motor Vespa antik warna cokelatnya pun melaju perlahan. Makin terlihat eksotis dengan hiasan cinta dari kami.

Selamat malam para senyuman . . .

******

Related Posts:

1 Response to "Selamat Malam Para Senyuman"

  1. Ya ampun itu anak-anak pada terus ke mana
    Jangan bilang terus menyewa hotel atau menuju pertamanan sepi
    Lalu main di sana sampai dini hari,, dan pulang sambil masing-masing sudah dalam keadaan kehilangan sesuatu....awas bahayyyyyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

    ReplyDelete