“Ibu, Dede mana?” biasanya aku sebal
mengobrol dengan adikku. Tapi kali ini entahlah, aku sedang bersemangat mencari
tahu nilai rapornya.
“Kamu dapat nilai berapa?” tanyaku
penasaran.
“Nilainya sekarang berubah, Kak.
Cuma nyampe empat.” Katanya pendek. Itu sih gampang. Aku tahu kok, sistem
penilaian dengan IPK, mirip orang kuliahan gitu.
“Terus kamu dapet berapa, De?”
“Paling rendah 2,35. pelajaran
bahasa Indonesia.”
“Bagus itu, udah nyampe lah
setengahnya,” aku memuji, tulus.
Siangnya, aku bertandang ke rumah
paman.
“Rapor Maulana mana? Kakak pinjem
dong.” Bocah enam tahun itu gesit. Langsung mengambilkan apa yang ku minta. Aku
membaca satu per satu halaman. Mataku terbelalak pada pembagian nilai.
2,35 artinya Cukup. Hanya mentok
sekitar 60-70an. Aku tutup muka, sadar atas pujianku atas telefon semalam.
Namun aku kembali teringat pesanku
untuk Dede. “Kakak nggak mau adik kakak sampai jadi tukang contek. Kakak rela
adik kakak nilainya nol hasil jujur dari pada dapat sembilan tapi hasil
nyontek.”
Tentang mencontek,
ReplyDeleteIni jadi bahan perdebatan juga
Beberapa pengusaha seperti Purdi E, Candra memang nyeleneh, menyuruh supaya para guru mengajarkan anak-anak supaya mencontek
Ada - ada saja
Menghindari mencontek
Sebenarnya cara mengajarkan anak supaya kerja keras
setuju kang
Delete