Fiksimini: Bukan Hari Paling Loyo


Ilustrasi : Google 


Hari paling semangat di sepanjang jalan ini memang hari Senin. Derap langkah kaki anak-anak kecil itu mirip serdadu yang berbadan tegap. Sedangkan hari paling loyo ternyata Hari Murtanto! Aku sudah mengamatinya dari setengah jam lalu. Sejauh dua ratus meter dia masih saja mengamati pinggiran jalan berumput.

"Ayo, Har! Nanti terlambat. Kamu kebiasaan banget sih lihatin rumput enggak kelar-kelar," tegur seorang anak laki-laki bersepeda tanpa menghentikan kayuhan.

"Siapa bilang aku melihat rumput?" tanyanya saat anak bersepeda sudah berlalu.

Dia lalu berjongkok.

"Kalau siang, kamu ke mana?" tanyanya sambil mengusap temanku. Ujung jarinya jadi berkilau sebab sorotan mata hari.

Ups! Ternyata aku salah. Hari Murtanto bukan anak loyo yang enggak sampai-sampai jalannya. Dia begitu ingin tahu ke mana aku dan teman-temanku pergi bila siang.

"Har! Aku dan mereka berjalan sesuai petunjuk-Nya. Menghilang bersama cahaya mata hari dan meninggalkan rumput-rumput ini hingga esok pagi!" Hari tak mendengar penjelasanku.

@Falsafah embun

Related Posts:

4 Responses to "Fiksimini: Bukan Hari Paling Loyo"

  1. Wow, fiksimini paling lezat buat Dinner malam ini. Fiksimini filsafat, terlebih yang mengembalikan kepada kesadaran akan adanya Allah, memang layak direnungkan buat waktu yang panjang. Kebiasaan mentafakuri kebiasaan sehari-hari, hal-hal kecil di sepanjang jalan seperti embun memang makanan yang bagus buat jiwa dan pikiran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, kang Dana. Saya sangat tertarik menulis yang begini. Membuat tokoh di luar manusia sambil belajar apa pun yang bermanfaat. Semoga bermanfaat.

      Delete
  2. sederhana tapi WOW. cerita dari setitik embun. suka sekali

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks sudah mengapresiasi, Mas Toni. Saya masih terus belajar. Terkadang sesuatu yang menyejukkan di saat-saat tertentu akan dilupakan begitu saja, namun akan menyadari sebuah makna bila yang biasa hadir telah tiada. :)

      Delete